KONSEP
KEWIRAUSAHAAN SYARIAH
Konsep Samhan Dan Ta’awun
Konsep
Hutang Piutang
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah
Kewirausahaan Islam
Dosen Pengampu : Suwali, SE, MM
Kelompok
3
SD15-A2
Disusun Oleh:
1.
Afiah
Fifi Fitria (150641096)
2.
Dede
Suhendro (150641064)
3.
Ismaniyah (150641057)
4.
Siti
Barokah (150641088)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH CIREBON
TAHUN
AJARAN 2017
A. Konsep Ta'awun Dalam Islam
Allah Ta'ala berfirman: “dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (al Maidah: 2).Dalam hadits Rasul
saw. bersabda:”Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya sepanjang ia mau
menolong sandaranya, perumpamaan kaum muslim dalam kecintaan dan kasih sayang
mereka seperti jasad yang satu, jika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh
anggota badan ikut merasakan dan tidak bisa tidur. Hal tersebut merupakan syiar
masyarakat Islami dan asas dalam kehidupan ekonomi. Konsep ta’awun bisa
diartikan dengan bertemunya setiap individu yang memiliki kemampuan dan
keahlian yang berbeda, untuk bekerjasama saling membahu mencapai tujuan yang
ingin diwujudkan bersama. Sebuah sistem ekonomi yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup, sistem sosial yang dibentuk untuk menyebarkan ilmu
diantara orang yang bergabung,dan masyarakat pada umumnya, saling
mempersaudarakan satu sama lainnya dan berkorban demi kepentingan bersama.
Ta’awun merupakan konsep dasar yang
dijadikan asas untuk mengaplikasikan teori Islam atas harta, dengan tanpa
adanya ta’awun, maka teori tersebut tidak dapat diwujudkan. Dan tanpa adanya
pemahaman yang benar tentang makna ta’awun dan keimanan yang mendalam, maka
kehidupan masyarakat Islam tidak akan pernah terbangun, dan konsep ekonominya
hanya sebatas retorika. Masyarakat muslim mempunyai syiar dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (az zukhruf; 32) dalam arti, harta
kekayaan bukanlah menjadi tujuan hidup, harta berfungsi sebagai fungsi pokok
kehidupan dan mempunyai tugas-tugas sosial yang cukup urgen, manusia sama di
hadapan Allah, dan yang membedakan adalah kadar takwa yang akan menyampaikan
seorang hamba pada rahmat Allah.
Konsep ta’awun pernah dilakukan oleh
Rasul, diriwayatkan, suatu hari Rasul jalan-jalan ke pasar dengan membawa uang
delapan dirham. Di tengah perjalanan, Rasul bertemu dengan budak perempuan
sedang menangis,kemudian Rasul bertanya,’Apa yang membuatmu menangis?” kemudian
budak itu menjawab, majikan saya mengutus untuk membeli sesuatu dengan uang dua
drham, tapi uang tersebut sekarang hilang kemudian Rasul memberinya dua dirham.
Selanjutnya Rasul berjalan dengan membawa uang enam dirham, dan membeli pakaian
seharga empat dirham untuk dirinya dan kemudian di pakai. Dalam perjalanan
pulang, Rasul bertemu dengan seorang muslim yang tua tak berpakaian seraya
berkata, barang siapa memberi pakaian kepadaku, maka akan diganti Allah sebuah
pakaian dari surga, kemudian Rasul mencopot pakaian yang baru dibeli dan
diberikan kepada orang tersebut. selanjutnya Rasul berkeinginan kembali ke
pasar dan membeli pakaian seharga dua dirham dan kemudian dipakainya, Rasul
bergegas untuk pulang.Selanjutnya Rasul bertemu dengan budak perempuan kembali,
dan dalam keadaan menangis, Rasul bertanya, Apa yang membuatmu menangis
kemudian dijawab, saya telah lama meninggalkan keluargaku, dan saya takut akan
disiksa. Kemudian Rasul minta untuk diantarkan kepada ahlinya, setelah sampai,
Rasul menyampaikan salam,namun tidak dibalas, dalam rumah tersebut tidak ada
lelaki, yang ada hanya perempuan. Kemudian Rasul mengucapkan salam yang kedua,
namun juga tidak dijawab, kemudian Rasul mengucapkan salam yang ketiga kalinya,
lalu dijawab oleh wanita-wanita tersebut. rasul kemudian bertanya,”apakah
kalian tidak mendengar salamku? ”Kami mendengarnya, namun kami ingin
mendapatkan berkah salam dari Rasul. Rasul kemudian berkata, budak kalian takut
akan siksa yang akan kalian berikan, maka berikanlah siksa itu kepadaku. Wanita
itu kemudian menjawab, kami telah membebaskannya karena ia telah berjalan
bersama Engkau, ia merdeka karena Allah. Kemudian Nabi berpaing untuk pulang
seraya berkata, saya tidak menemukan berkah yang lebih besar dari uang delapan ini,
dengannya Allah amankan orang yang ketakutan, menutupi orang yang telanjang,
dan memerdekakan budak, barang siapa yang mau untuk memberikan pakaian pada
orang lain, maka ia akan dalam lindungan Allah.
Suatu hari Umar ra pergi berziarah ke
rumah Abu Ubaidah, Umar ra melihat kehidupn Abu Ubaidah cukup menderita dan
tidak ditemukan lauk di rumahnya. Kemudian Umar mengutus seseorang untuk
mengambil harta guna memperbaiki kehidupan Abu Ubaid, namun Abu Ubaid
menolaknya, ia membagikan harta itu kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
Begitu juga yang dilakukan Umar ra dan Muadz bin Jabal, untuk membagikan harta
pada orang-orang yang membutuhkan. Apakah konsep ini ditemukan dalam sistem
ekonomi yang lain, apakah ada sistem ekonomi yang memerintahkan negara untuk
membayar hutang-hutang orang yang bangkrut seperti yang dilakukan Islam bagi
orangorang gharim dengan harta zakat?! Seperti yang tercermin dalam sabda
Rasul, barang siapa meninggalkan hutang, maka Aku yang akan membayarnya, dan
barang siapa yang meninggalkan harta warisan, maka bagi ahli warisnya. Apa yang
dilakukan oleh Abu Dzar juga cukup menarik, beliau hanya mengambil gajinya
untuk memenuhi kebutuhan pokok selama setahun, kemudian selebihnya diinfaq-kan
di jalan Allah dan tidak disimpan.
Islam mempunyai kaidah yang luas
tentang hak seseorang atas harta, orang dzimmi yang hidup dalam naungan Islam
juga berhak mendapatkan, tidak membedakan letak geografis, jenis etnis ataupun
warna kulit. Saling memperhatikan dan peduli terhadap kehidupan sesama, semuanya
adalah saudara dalam satu iman kepada Allah. Setiap mereka berhak untuk
menerima hak, bagi orang yang bertamu atau datang ke rumah kita, walaupaun
berasal dari daerah lain, kita patut untuk memberikan makan atau minum karena
mereka berhak dan termasuk sebagai ibnussabil. Ibnu Hazm berkata, menjamu/
menghormati tamu adalah wajib bagi orang desa, kota, ulama, orang awam selama
satu hari satu malam, sampai waktu tiga hari bertamu. Pada masa kekhalifahan
Umar ra. pernah kaum Anshar melakukan perjalanan, kemudian mereka bertamu
kepada orang arab, namun mereka tidak menjamunya, kemudian kaum Anshar
bermaksud membelinya, namun mereka juga menolaknya, selanjutnya kaum Anshar
mengambilnya dengan paksa. Kejadian tersebut dilaporkan orang arab kepada Umar,
kemudian Umar ra berkata, ibnussabil lebih berhak untuk mendapatkan harta itu.
Setiap individu berhak atas kekayaan
masyarakat, namun dilakukan dengan kehalusan sehingga akan terbentuk ukhuwwah
dalam masyarakat, Allah berfirman: “ Tidak ada halangan bagi orang
buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak
(pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri
atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu
yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu
yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu
yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu
miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan
bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah
dari) rumah-rumah ini hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang
berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi
Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat
(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya “ (an Nuur: 61)
Rasul kemudian berwasiat untuk membina
hubungan baik dengan tetangga, Nabi selalu mendapat wasiat dari Jibri
berulang-ulang, seolah-olah ia merupakan ahli waris bagi kita. Sebuah wasiat
yang luas maknanya untuk membentuk sebuah masyarakt Islami yang dibangun atas
nilai-nilai silaturrahim dan kasih sayang. Membina keluarga dengan penuh
kecintaan, sehingga akan terbentuk masyarakat kecil yang saling membantu dalam
kebaikan dan membantu saudara yang lemah. Saling membantu untuk kemanfaatan
bersama, manusia pada hakikatnya merupakan umat yang satu yang diciptakan
berbeda-beda guna untuk saling mengenal satu sama lainnya, Allah berfirman:
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu
“ (al Hujurat: 13)
Pengertian Al-Qardh, Qardh secara
etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu,
yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ بِفَتْحِ
الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ
Qardh adalah bentuk
masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh,
aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Adapun qardh secara terminologis
adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature
fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersil.
Sayyid Sabiq memberikan
definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ
لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya: “Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh
pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan
kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu
membayarnya.”
Dasar
disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا
فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
Artinya:“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S
Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah
bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah
dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat
ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena
orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga
menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti
hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan
terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum
wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang
yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya,
maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa
penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang
makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan
kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan
karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal
perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum
memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya
yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan
mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada
pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika
dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti
untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.
Rukun qardh (hutang piutang) ada
tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak yang melakukan
transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab
dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah
dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti
kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.Demikian pula qabul sah
dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau
“aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2.
‘Aqidain
Yang dimaksud
dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.
Syarat-syarat bagi pemberi hutang
a) Fuqaha’ sepakat bahwa
syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang
boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai
(rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi
bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya
tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.
b) Syafi’iyyah berargumentasi
bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’ (pemberian
derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.
c) Syafi’iyah menyebutkan
bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan kerelaan, bukan
dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang
benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus
berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa.
d) Hanafiyah mengkritisi
syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi hutang bahwa
tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.
e) Hanabilah mengkritisi
syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi hutang bahwa
seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan
nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.
f) Syafi’iyah merinci
permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh
menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan
darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun
bukan dalam kondisi darurat.
b. Syarat bagi penghutang
a) Syafi’iyah mensyaratkan
penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah
(kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member
derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah
at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka,
baligh, dan berakal sehat.
b) Hanabilah mensyaratkan
penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan.
Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga
diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
c) Harta yang
dihutangkan
Rukun yang
ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
-
Harta yang dihutangkan berupa harta
yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama
tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang,
barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
-
Tidak boleh menghutangkan harta yang
nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu
mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini
karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara
mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan
harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
d)
Malikiyyah dan Syafi’iyyah,
menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh
menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh
ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua
yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta
itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi
Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan
dengannya.
e)
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang
tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat
dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah
mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti
dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
f)
Hanabilah berpendapat
bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik yang ada
padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan
sifat maupun tidak.
g)
Harta yang dihutangkan disyaratkan
berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat
kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan
syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan
berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat
dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh
diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka
salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.
h)
Pendapat yang dipilih oleh ibnu
taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
i)
Harta yang dihutangkan diketahui.
Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang
dapat membayar hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
j)
Syarat ketiga ini mencakup dua hal,
yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah
membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak
sah.
k)
harta
qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan
domba yang dipinjam.
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad
qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong
menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan syariah akad ini
dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan
memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun.
Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut,
kecuali jika bank mengikhlaskannya.
Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih
dari pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak
diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal
tersebut merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ، فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»، فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا
فَوْقَهَا، فَقَالَ: «أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً» (رواه البخاري
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah
dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang
itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta
namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya,
maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata:
"Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara
kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".
َدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا
مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً. (رواه الترمذي
Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki'
dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam
(berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian
beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang
lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah
mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia
pinjam.
Dalam perbankan syariah, akad ini
dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil dari dana zakat,
infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’ atau diambilkan
dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada
nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan
berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah. Akan jauh
lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan untuk
kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar