Senin, 29 Januari 2018

KONSEP KEWIRAUSAHAAN SYARIAH




KONSEP KEWIRAUSAHAAN SYARIAH
 Konsep Samhan Dan Ta’awun
Konsep Hutang Piutang
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan Islam
 Dosen Pengampu : Suwali, SE, MM






Kelompok 3
SD15-A2

Disusun Oleh:
1.      Afiah Fifi Fitria                               (150641096)
2.      Dede Suhendro                                (150641064)
3.      Ismaniyah                                        (150641057)
4.      Siti Barokah                                     (150641088)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
TAHUN AJARAN 2017
A.      Konsep Ta'awun Dalam Islam
Allah Ta'ala berfirman: “dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (al Maidah: 2).Dalam hadits Rasul saw. bersabda:”Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya sepanjang ia mau menolong sandaranya, perumpamaan kaum muslim dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti jasad yang satu, jika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh anggota badan ikut merasakan dan tidak bisa tidur. Hal tersebut merupakan syiar masyarakat Islami dan asas dalam kehidupan ekonomi. Konsep ta’awun bisa diartikan dengan bertemunya setiap individu yang memiliki kemampuan dan keahlian yang berbeda, untuk bekerjasama saling membahu mencapai tujuan yang ingin diwujudkan bersama. Sebuah sistem ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, sistem sosial yang dibentuk untuk menyebarkan ilmu diantara orang yang bergabung,dan masyarakat pada umumnya, saling mempersaudarakan satu sama lainnya dan berkorban demi kepentingan bersama.
Ta’awun merupakan konsep dasar yang dijadikan asas untuk mengaplikasikan teori Islam atas harta, dengan tanpa adanya ta’awun, maka teori tersebut tidak dapat diwujudkan. Dan tanpa adanya pemahaman yang benar tentang makna ta’awun dan keimanan yang mendalam, maka kehidupan masyarakat Islam tidak akan pernah terbangun, dan konsep ekonominya hanya sebatas retorika. Masyarakat muslim mempunyai syiar dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (az zukhruf; 32) dalam arti, harta kekayaan bukanlah menjadi tujuan hidup, harta berfungsi sebagai fungsi pokok kehidupan dan mempunyai tugas-tugas sosial yang cukup urgen, manusia sama di hadapan Allah, dan yang membedakan adalah kadar takwa yang akan menyampaikan seorang hamba pada rahmat Allah.
Konsep ta’awun pernah dilakukan oleh Rasul, diriwayatkan, suatu hari Rasul jalan-jalan ke pasar dengan membawa uang delapan dirham. Di tengah perjalanan, Rasul bertemu dengan budak perempuan sedang menangis,kemudian Rasul bertanya,’Apa yang membuatmu menangis?” kemudian budak itu menjawab, majikan saya mengutus untuk membeli sesuatu dengan uang dua drham, tapi uang tersebut sekarang hilang kemudian Rasul memberinya dua dirham. Selanjutnya Rasul berjalan dengan membawa uang enam dirham, dan membeli pakaian seharga empat dirham untuk dirinya dan kemudian di pakai. Dalam perjalanan pulang, Rasul bertemu dengan seorang muslim yang tua tak berpakaian seraya berkata, barang siapa memberi pakaian kepadaku, maka akan diganti Allah sebuah pakaian dari surga, kemudian Rasul mencopot pakaian yang baru dibeli dan diberikan kepada orang tersebut. selanjutnya Rasul berkeinginan kembali ke pasar dan membeli pakaian seharga dua dirham dan kemudian dipakainya, Rasul bergegas untuk pulang.Selanjutnya Rasul bertemu dengan budak perempuan kembali, dan dalam keadaan menangis, Rasul bertanya, Apa yang membuatmu menangis kemudian dijawab, saya telah lama meninggalkan keluargaku, dan saya takut akan disiksa. Kemudian Rasul minta untuk diantarkan kepada ahlinya, setelah sampai, Rasul menyampaikan salam,namun tidak dibalas, dalam rumah tersebut tidak ada lelaki, yang ada hanya perempuan. Kemudian Rasul mengucapkan salam yang kedua, namun juga tidak dijawab, kemudian Rasul mengucapkan salam yang ketiga kalinya, lalu dijawab oleh wanita-wanita tersebut. rasul kemudian bertanya,”apakah kalian tidak mendengar salamku? ”Kami mendengarnya, namun kami ingin mendapatkan berkah salam dari Rasul. Rasul kemudian berkata, budak kalian takut akan siksa yang akan kalian berikan, maka berikanlah siksa itu kepadaku. Wanita itu kemudian menjawab, kami telah membebaskannya karena ia telah berjalan bersama Engkau, ia merdeka karena Allah. Kemudian Nabi berpaing untuk pulang seraya berkata, saya tidak menemukan berkah yang lebih besar dari uang delapan ini, dengannya Allah amankan orang yang ketakutan, menutupi orang yang telanjang, dan memerdekakan budak, barang siapa yang mau untuk memberikan pakaian pada orang lain, maka ia akan dalam lindungan Allah.
Suatu hari Umar ra pergi berziarah ke rumah Abu Ubaidah, Umar ra melihat kehidupn Abu Ubaidah cukup menderita dan tidak ditemukan lauk di rumahnya. Kemudian Umar mengutus seseorang untuk mengambil harta guna memperbaiki kehidupan Abu Ubaid, namun Abu Ubaid menolaknya, ia membagikan harta itu kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Begitu juga yang dilakukan Umar ra dan Muadz bin Jabal, untuk membagikan harta pada orang-orang yang membutuhkan. Apakah konsep ini ditemukan dalam sistem ekonomi yang lain, apakah ada sistem ekonomi yang memerintahkan negara untuk membayar hutang-hutang orang yang bangkrut seperti yang dilakukan Islam bagi orangorang gharim dengan harta zakat?! Seperti yang tercermin dalam sabda Rasul, barang siapa meninggalkan hutang, maka Aku yang akan membayarnya, dan barang siapa yang meninggalkan harta warisan, maka bagi ahli warisnya. Apa yang dilakukan oleh Abu Dzar juga cukup menarik, beliau hanya mengambil gajinya untuk memenuhi kebutuhan pokok selama setahun, kemudian selebihnya diinfaq-kan di jalan Allah dan tidak disimpan.
Islam mempunyai kaidah yang luas tentang hak seseorang atas harta, orang dzimmi yang hidup dalam naungan Islam juga berhak mendapatkan, tidak membedakan letak geografis, jenis etnis ataupun warna kulit. Saling memperhatikan dan peduli terhadap kehidupan sesama, semuanya adalah saudara dalam satu iman kepada Allah. Setiap mereka berhak untuk menerima hak, bagi orang yang bertamu atau datang ke rumah kita, walaupaun berasal dari daerah lain, kita patut untuk memberikan makan atau minum karena mereka berhak dan termasuk sebagai ibnussabil. Ibnu Hazm berkata, menjamu/ menghormati tamu adalah wajib bagi orang desa, kota, ulama, orang awam selama satu hari satu malam, sampai waktu tiga hari bertamu. Pada masa kekhalifahan Umar ra. pernah kaum Anshar melakukan perjalanan, kemudian mereka bertamu kepada orang arab, namun mereka tidak menjamunya, kemudian kaum Anshar bermaksud membelinya, namun mereka juga menolaknya, selanjutnya kaum Anshar mengambilnya dengan paksa. Kejadian tersebut dilaporkan orang arab kepada Umar, kemudian Umar ra berkata, ibnussabil lebih berhak untuk mendapatkan harta itu.
Setiap individu berhak atas kekayaan masyarakat, namun dilakukan dengan kehalusan sehingga akan terbentuk ukhuwwah dalam masyarakat, Allah berfirman: “ Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah ini hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya “ (an Nuur: 61)
Rasul kemudian berwasiat untuk membina hubungan baik dengan tetangga, Nabi selalu mendapat wasiat dari Jibri berulang-ulang, seolah-olah ia merupakan ahli waris bagi kita. Sebuah wasiat yang luas maknanya untuk membentuk sebuah masyarakt Islami yang dibangun atas nilai-nilai silaturrahim dan kasih sayang. Membina keluarga dengan penuh kecintaan, sehingga akan terbentuk masyarakat kecil yang saling membantu dalam kebaikan dan membantu saudara yang lemah. Saling membantu untuk kemanfaatan bersama, manusia pada hakikatnya merupakan umat yang satu yang diciptakan berbeda-beda guna untuk saling mengenal satu sama lainnya, Allah berfirman: “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu “ (al Hujurat: 13)
B.       Konsep Hutang Piutang
Pengertian Al-Qardh, Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
  القَرْضُ بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya: “Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
Artinya:“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1.       Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2.      ‘Aqidain                                      
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.       Syarat-syarat bagi pemberi hutang
a)      Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.
b)     Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.
c)      Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa.
d)     Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.
e)      Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.
f)       Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.
b.       Syarat bagi penghutang
a)      Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
b)     Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
c)      Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
-          Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
-          Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
d)     Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
e)      Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
f)       Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.
g)      Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.
h)     Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
i)        Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
j)       Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.
k)     harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.
 Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ، فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»، فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ: «أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً»  (رواه البخاري
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".
َدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً. (رواه الترمذي
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki'
 dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar